Minggu lalu kita tulis kisah saudara-saudara dari pedesaan berkunjung ke saudaranya di kota. Mereka tidak diterima dengan baik karena dianggap memalukan, miskin, compang camping, mukanya kusut seakan sebulan tidak mandi, anaknya pasti banyak karena di jalanpun masih menggendong bayinya yang masih sangat kecil, pasti di rumah masih ada ratusan lagi yang balita. Arus balik akan segera terjadi. Tiket pesawat, kereta api, bus sudah habis terjual. Mobil sewaan laris manis disewa oleh juragan-kota yang ingin pulang kampung sambil pamer bahwa mereka sudah beli mobil baru, lengkap dengan sopirnya.
Banyak toko-oko dan mall mengobral barang dagangannya. Baju, celana, kain kebaya, rok dan segala untuk perempuan maupun laki-laki dijual murah dengan potongan harga gila-gilaan. Ada yang sepuluh persen, duapuluh persen, bahkan yang limapuluh persenpun ada. Kita tidak pernah tahu apakah potongan itu benar, atau sekedar permainan label harga. Kita tidak tahu harga sebelumnya karena pada bulan-bulan biasa tidak pernah berkunjung ke Mall-mall megah tersebut. Hanya karena pengin pulang kampung, kita harus beli barang baru, oleh-oleh atau untuk sendiri dari Mall-mall bernama itu.
Kalau untuk sendiri harus dipastikan pada waktu dipakai labelnya masih menempel. Di hadapan saudara di desa harus dibuat “kejutan” karena label itu mengganggu. Barulah di muka khalayak yang terheran-heran label itu dicopot sambil berteriak, “wah mas belinya di Mall yang terkenal itu ya”. “Oh, maaf iya, iya, karena aku ingin barang yang berkualitas”. “Kalau di pinggir jalan tidak yakin baru dipakai sehari saja sudah robek”. “Maklum di mana-mana di Jakarta banyak orang jualan barang tiruan !” Begitu jawab orang kota dengan penuh keyakinan.
Inilah bedanya. Tamu dari pedesaan datang dengan segala kesederhanaan, kemiskinan, kepapaan, dan berusaha meyakinkan semua pihak bahwa kehidupannya di desa masih dalam penderitaan. Biarpun mungkin mereka dihormati oleh sesamanya. Mereka adalah warga negara yang masih punya hati nurani, masih punya kepedulian terhadap sesamanya. Yang kita orang kota, mungkin masih miskin, tetapi tidak mau kalah, tidak mau mengakui. Merasa merasa telah berhasil. Kalau tidak punya mobil, tidak bisa membawa mobil kantor, apa boleh buat, menyewa mobil jadi juga. Kalau perlu dengan sopir yang wanti-wanti dipesan untuk berkata bahwa sopir itu adalah sopir pribadi yang selama ini setiap hari mengantar sang majikan ke kantor, atau ke toko, atau ke pasar.
Dari pakaian yang dipakai bisa dibedakan orang kota atau orang desa. Bajunya model terbaru. Kalau perlu celananya agak ditarik kebawah dengan baju yang ditarik keatas sehingga perut bisa nampak menyembul. Tanda modernisasi yang sengaja memberi ruang gerak semua bagian tubuh dan keindahannya. Baju yang dulu rapi dan rapet, kalau tidak boleh dibuka di depan, ya apa boleh buat, bagian belakangnya dibuka secara sengaja agar kulit yang dulu hitam legam sekarang sudah digosok dengan kosmetik berubah menjadi lebih putih dan menarik.
Alangkah baiknya kalau pemerintah, misalnya Menteri Agama, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Daerah Tertinggal, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Sosial dan Kepala BKKBN beramai-ramai menggelar pertemuan dengan keluarga yang akan pulang mudik. Pertemuan itu bukan untuk mengurangi kebebasan berpakaian atau mengobral keberhasilan, tetapi mengajak para saudara “migran kota” itu memberi sedikit perhatian akan saudaranya yang menderita di desa. Disamping pameran keberhasilan alangkah baiknya kalau keluarga pulang mudik itu bukan membawa oleh-oleh baju dan pakaian baru saja, tetapi juga alat-alat produksi yang bisa dimanfaatkan saudaranya di desa untuk membuka usaha yang lebih variatip.
Disamping itu, kalau kedatangan kita beberapa hari sebelum hari Raya Idul Ftri dan kantor-kantor Bank masih buka, akan baik sekali kalau saudara di desa diajak berkenalan dengan bank dan diajak membuka tabungan. Dengan tabungan diajak keluarga di desa belajar berusaha sehingga kalau sudah ada kemauan dan usahanya makin maju, keluarga di kota bisa mengirim bantuan modal melalui sistem giral yang mudah dan cepat. Dengan dukungan modal itu keluarga di desa bisa memperluas kegiatan usaha. Pemerintah dan swasta yang programnya makin marak memfasilitasi usaha itu berkembang lebih luas dan akhirnya dikukuhkan sebagai koperasi.
Keluarga kota datang ke desa bukan menjadi “manequin”, “boneka”, tetapi berbondong-bondong membantu saudaranya melalui proses pemberdayaan mengantarnya menjadi keluarga yang lebih bahagia dan sejahtera. Sekaligus kita antar dan kita dampingi keluarga di desa mengentaskan dirinya dari lembah kebodohan dan kemiskinan. Selamat pulang mudik. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Umum DNIKS).
Mau berlangganan artikel gratis ?, masukan saja emailnya di kotak sidebar yg telah disediakan
Wow postingan yg bagus.. seharusnya begitu.. bagi orang daerah yang sdh berhasil di kota.. ya.. jangan lupa untuk turu membangun daerah asalnya.. sipp lah
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H, Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Shiyamana Wa Shiyamakum. Mohon maaf lahir dan batin ..